Jumat, 15 Juni 2012

Hormon Giberelin


HORMON GIBERELIN
1.      Giberelin
a.       Pengertian Hormon
            Zat pengatur tumbuh tanaman yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon, sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik. Hormon tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang disintesiskan pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis.
            Menurut definisi tersebut hormon tanaman harus memenuhi beberapa syarat berikut, yaitu : (1) senyawa organik yang dihasilkan oleh tanaman sendiri, (2) harus dapat ditraslokasikan, (3) tempat sintesis dan kerja berbeda, (4) aktif dalam konsentrasi rendah. Dengan batasan-batasan tersebut vitamin dan gula tidak termasuk dalam hormon. Dikenal 5 golongan fitohormon yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen (Wattimena G.A. 1988: 8).
            Pada umumnya, hormon mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, dengan mempengaruhi pembelahan sel, perpanjangan sel, dan diferensiasi sel. Menurut Meyer et al. (1973) dan Bidwell (1979), suatu hormon tidak hanya berperan atau bekerja dalam satu macam proses fisiologi, namun kadang-kadang dalam pengaturan berbagai proses (Retno Wahyuningtyas, 1994: 8). Setiap hormon mempunyai efek ganda tergantung pada : tempat kegiatannya, konsentrasinya, dan stadia perkembangan tumbuhannya. Hormon tumbuhan, diproduksi dalam konsentrasi rendah, tetapi sejumlah kecil hormon dapat membuat efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan organ suatu tumbuhan.
b.      Sejarah Giberelin
            Giberelin adalah jenis hormon tumbuh yang mula-mula ditemukan di Jepang oleh Kurosawa pada tahun 1926. Kurosawa melakukan penelitian terhadap penyakit ”bakane” yang menyerang tanaman padi. Adapun penyebab dari penyakit ini adalah jamur Gibberella Fujikuroi. Suatu gejala khas dari penyakit ini ialah: apabila tanaman padi terserang, maka tanaman tersebut memperlihatkan batang dan daun yang memanjang secara tidak normal. Kurosawa berhasil mengisolasi Gibberella Fujikuroi ini dan menginfeksikan kepada tanaman yang sehat. Sebagai akibat infeksi tersebut, maka tanaman yang terinfeksi itu memperlihatkan gejala seperti di atas (Zainal Abidin, 1982 : 37 ).
            Menurut Dardjat Sasmitamihardja dan Arbayah S. (1996 : 332), pada tahun 1930 Yabuta dan Hayashi berhasil mengisolasi suatu senyawa aktif dari jamur Gibberella Fujikuroi yang dinamakan giberelin. Pada tahun 1951, Stodola dkk melakukan penelitian terhadap substansi dari jamur Gibberella Fujikuroi, dan menghasilkan “Giberelin A”. Penyelidikan orang–orang Jepang ini tidak banyak menarik perhatian para ahli di luar Jepang. Sampai pada akhir Perang Dunia II beberapa team ahli dari Inggris dan Amerika Serikat mengunjungi Jepang dan menyadari akan penelitian-penelitian mengenai giberelin ini. Sesudah studi yang mendalam diketahui bahwa giberelin A terdiri dari sekurang-kurangnya 6 macam giberelin yang disebut GA1, GA2, GA3, GA4, GA7, dan GA9. Menurut Loveless A. R. (1991: 369) giberelin alami ada lebih dari 30 macam, semuanya memiliki konfigurasi kimia yang khusus (suatu rangka giban), tetapi yang paling sering dideteksi ialah asam giberelat (GA3) dan banyak efek fisiologis yang dianggap berasal dari GA3.
c.       Karakteristik Kimia Giberelin
            Giberelin termasuk senyawa isoprenoid dan merupakan diterpen yang disintesis dari unit-unit asetat yang berasal dari asetil-KoA melalui jalur asam mevalonat (Dardjat Sasmitamihardja dan Arbayah, 1996 : 334), senyawa isoprene  memiliki 5 atom karbon (C). Unit-unit isoprene ini dapat bergabung menghasilkan monoterpene (C-10), sesqueterpene (C-15), diterpene (C-20), dan triterpene (C-30). 

Gambar 5. Struktur GA3
 (Salisbury dan Ross, 1995: 51)
            Semua molekul giberelin mengandung ‘Gibban Skeleton’. Giberelin dapat dikelompokkan mejadi dua kelompok berdasarkan jumlah atom C, yaitu yang mengandung 19 atom C dan 20 atom C. Sedangkan berdasarkan posisi gugus hidroksil dapat dibedakan menjadi gugus hidroksil yang berada di atom C nomor 3 dan nomor 13. Penelitian lebih lanjut juga menemukan beberapa senyawa lain yang memiliki fungsi seperti giberelin tetapi tidak memiliki ‘Gibban Skeleton’. Semua giberelin dengan 19 atom adalah asam monokarbosiklik yang mengandung grup COOH pada posisi 7 dan mempunyai sebuah laktonering. 


Gambar 6. Struktur Ent-Gibberellane (gibban skeleton)
 (Salisbury dan Ross, 1995: 51)

d.      Biosintesis dan Transport Giberelin
            Jalur biosintesis giberelin berasal dari prekursor asam mevalonat yang dibentuk oleh asetil koenzim A. Giberelin disintesis pada daun yang sedang berkembang, primordium cabang, ujung akar dan biji yang sedang berkembang. Salisbury dan Ross (1995: 54) menyatakan bahwa pengangkutan asam giberelat dalam tumbuhan tidak terjadi secara polar. Pengangkutan berlangsung melalui difusi. Selain itu, pengangkutan juga berlangsung melalui xilem dan floem.
e.       Pengaruh Fisiologis dari  Giberelin
            Giberelin sebagai hormon tumbuh pada tanaman berpengaruh terhadap sifat genetik (genetic dwarfism), pembungaan, penyinaran, partenokarpi, mobilisasi karbohidrat selama perkecambahan dan aspek fisiologis lainnya. Giberelin mempunyai peranan dalam mendukung perpanjangan sel, aktivitas kambium dan mendukung pembentukan RNA baru serta sintesis protein (Zainal Abidin, 1982: 44). Kebanyakan tanaman memberikan respon terhadap pemberian GA3 dengan pertambahan panjang batang. Pengaruh GA3 terutama di dalam perpanjangan ruas tanaman yang disebabkan oleh jumlah sel-sel pada ruas-ruas tersebut bertambah besar (Wattimena, 1987 : 23-24 ). Peran giberelin dalam pemanjangan batang merupakan hasil dari 3 proses. Proses pertama adalah pembelahan di daerah ujung batang. Dari hasil penelitian Lui dan Loy (1976) menunjukkan pembelahan sel diakibatkan oleh stimulus giberelin terhadap sel yang berada pada fase G1 agar segera memasuki fase S dan memperpendek fase S. Proses kedua adalah giberelin memacu pertumbuhan sel dengan cara meningkatkan hidrolilis amilum, fruktan dan sukrosa menjadi glukosa dan  fruktosa sehingga dapat digunakan untuk respirasi yang menghasilkan energi. Energi tersebut kemudian akan digunakan untuk pembentukan dinding sel dan komponen-komponen sel lain sehingga proses pembentukan sel dapat berlangsung dengan cepat. Giberelin juga menurunkan potensial air sehingga air dapat masuk ke dalam sel dengan lebih cepat dan terjadi pembentangan sel. Proses ketiga adalah giberelin meningkatkan plastisitas dinding sel (Salisbury & Ross, 1985: 61). Giberelin juga memenuhi kebutuhan beberapa spesies akan masa dingin untuk menginduksi pembungaan atau agar berbunga lebih awal (vernalisasi). Giberelin secara luas juga dikenal dapat mengubah ekspresi jenis kelamin.
            Biasanya fertilisasi diperlukan sebelum pertumbuhan buah dimulai tetapi pada beberapa kasus buah berkembang meskipun dengan tidak adanya fertilisasi. Proses tersebut dikenal sebagai partenokarpi. (Rismunandar, 1988) menyatakan partenokarpi terdiri atas dua kata yaitu parthenos yang berarti perawan (belum dibuahi sel telurnya) dan karpos yang berarti buah. Partenokarpi meliputi perkembangan buah tanpa penyerbukan, kemudian diperluas semua menjadi perkembangan buah tanpa fertilisasi baik setelah terjadinya penyerbukan maupun tanpa penyerbukan (Retno Wahyuningtyas, 1994: 23). Pertumbuhan partenokarpi buah dipicu oleh hormon giberelin, tanaman-tanaman yang mengalami perkembangan buah tanpa adanya fertilisasi tetapi perkembangan buahnya di picu oleh hormon giberelin adalah tomat, apel dan buah persik (Mulyani dan Kartasapoetra, 1989: 61). Bradley dan Crane (1962) memperlihatkan bahwa buah persik partenokarpi yang dihasilkan oleh pemrosesan giberelin adalah serupa dengan buah persik normal dalam ukuran dan rasio jumlah sel terhadap ukuran sel (Mulyani dan Kartasapoetra, 1989: 83). 
            Telah banyak diuraikan giberelin dalam hubungannya dengan partenokarpi. Hasil penelitian Barker dan Collin (1965) menunjukkan bahwa GA3 lebih efektif dalam terjadinya partenokarpi dibanding dengan auxin yang dilakukan pada blueberry. Hasil penelitian Clore menunjukkan bahwa pencelupan klaster anggur jenis Delaware pada saat sebelum berbunga (prebloom) dan sesudah berbunga (post bloom) dalam larutan GA3 dapat dihasilkan 88-96% beri yang tak berbiji. Begitu pula Delvin dan Demoranville (1967) meneliti cranberry, dan Mdlibowska (1966) meneliti pear dengan mengaplikasikan GA3. (Zainal Abidin, 1982: 47). Rismunandar (1988) menyatakan bahwa penggunaan GA3 konsentrasi 10 ppm disemprotkan pada seluruh malai bunga tomat, konsentrasi 25 ppm untuk tanaman terong, konsentrasi 50 ppm untuk buah mentimun, disemprotkan langsung seluruh tanaman pada saat malai berbunga, menghasilkan buah-buah tak berbiji (Retno Wahyuningtyas, 1994: 25).


DAFTAR PUSTAKA

Dardjat Sasmitamihardja dan Siregar A. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : Jurusan Biologi FMIPA IPB.
Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik (Terjemahan : Kuswata Kartawinata, Sarkat Danimiharja dan Usep Soetisna). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mul Mulyani Sutedjo dan Kartasapoetra, A. G.  1989. Fisiologi Tanaman 1. Jakarta : Bumi Aksara.
Retno Wahyuningtyas. 1994. Pembentukan dan Perkembangan Buah Tanaman Pare Pahit (Momordica charantia Linn.) dengan Perlakuan Auxin dan Giberelin. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Salisbury, F.B and Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. (Terjemahan : Dian R Lukman dan Sumaryono). Bandung : Penerbit ITB.
Wattimena G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tumbuhan. Bogor : Pusat Antar Universitas IPB.
Zainal Abidin. 1982. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung : Angkasa




Keanekaragaman Hayati

 Keanekaragaman hayati tidak saja terjadi antar jenis, tetapi dalam satu jenis pun terdapat keanekaragaman. Adanya perbedaan warna, bentuk, dan ukuran dalam satu jenis disebut variasi.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang tingkatan keanekaragaman hayati, simak uraiannya berikut ini:
1. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen
Apa yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati tingkat gen? Untuk menemukan jawaban ini, cobalah amati tanaman bunga mawar. Tanaman ini memiliki bunga yang berwarna-warni, dapat berwarna merah, putih atau kuning. Atau pada tanaman mangga, keanekaragaman dapat Anda temukan antara lain pada bentuk buahnya, rasa, dan warnanya.
Demikian juga pada hewan. Anda dapat membandingkan ayam kampung, ayam hutan, ayam ras, dan ayam lainnya. Anda akan melihat keanekaragaman sifat antara lain pada bentuk dan ukuran tubuh, warna bulu dan bentuk pial (jengger).
                                 Gambar 1. Keanekaragaman gen pada ayam
Keanekaragaman warna bunga pada tanaman mawar. Bentuk, rasa, warna pada buah mangga, serta keanekaragaman sifat, warna bulu dan bentuk pial pada ayam, ini semua disebabkan oleh pengaruh perangkat pembawa sifat yang disebut dengan gen. Semua makhluk hidup dalam satu spesies/jenis memiliki perangkat dasar penyusun gen yang sama. Gen merupakan bagian kromosom yang mengendalikan ciri atau sifat suatu organisme yang bersifat diturunkan dari induk/orang tua kepada keturunannya.
Gen pada setiap individu, walaupun perangkat dasar penyusunnya sama, tetapi susunannya berbeda-beda bergantung pada masing-masing induknya. Susunan perangkat gen inilah yang menentukan ciri atau sifat suatu individu dalam satu spesies.
Apa yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman gen? Perkawinan antara dua individu makhluk hidup sejenis merupakan salah satu penyebabnya. Keturunan dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua induk/orang tuanya. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan menyebabkan keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas-varietas (varitas) yang terjadi secara alami atau secara buatan.
Keanekaragaman yang terjadi secara alami adalah akibat adaptasi atau penyesuaian diri setiap individu dengan lingkungan, seperti pada rambutan. Faktor lingkungan juga turut mempengaruhi sifat yang tampak (fenotip) suatu individu di samping ditentukan oleh faktor genetiknya (genotip). Sedangkan keanekaragaman buatan dapat terjadi antara lain melalui perkawinan silang (hibridisasi), seperti pada berbagai jenis mangga. Perbedaan sifat pada jenis mangga dapat Anda amati pada tabel berikut:
No.
Mangga
Bentuk Buah
Rasa
arima
1.
2.
3.
golek
kuini
gedong
lonjong           panjang
bulat telur, besar
manis
manis
lebih manis
tidak wangi
wangi
tidak wangi

Pada manusia juga terdapat keanekaragaman gen yang menunjukkan sifat-sifat berbeda, antara lain ukuran tubuh (besar, kecil, sedang); warna kulit (hitam, putih, sawo matang, kuning); warna mata (biru, hitam, coklat), serta bentuk rambut (ikal, lurus, keriting). Cobalah perhatikan diri Anda sendiri! Ciri atau sifat apa yang Anda miliki? Sesuaikan dengan uraian di atas?
2. Keanekaragaman Hayati Tingkat Jenis
Dapatkah Anda membedakan antara tumbuhan kelapa aren, nipah dan pinang? Atau membedakan jenis kacang-kacangan, seperti kacang tanah, kacang buncis, kacang kapri, dan kacang hijau? Atau Anda dapat membedakan kelompok hewan antara kucing,harimau, singa dan citah? Jika hal ini dapat Anda bedakan dengan benar, maka paling tidak sedikitnya anda telah mengetahui tentang keanekaragaman jenis.
Untuk mengetahui keanekaragaman hayati tingkat jenis pada tumbuhan atau hewan, anda dapat mengamati, antara lain ciri-ciri fisiknya. Misalnya bentuk dan ukuran tubuh,warna, kebiasaan hidup dan lain-lain.
Contoh, dalam keluarga kacang-kacangan, antara lain; kacang tanah, kacang kapri, kacang hijau dan kacang buncis. Di antara jenis kacang-kacangan tersebut Anda dapat dengan mudah membedakannya, karena antara mereka ditemukan ciri-ciri yang berbeda antara ciri satu dengan yang lainnya. Misalnya ukuran tubuh atau batang (ada yang tinggi dan pendek); kebiasaan hidup (tumbuh tegak, ada yang merambat), bentuk buah dan biji, warna biji, jumlah biji, serta rasanya yang berbeda.
Gambar 2. Keanekaragaman jenis pada kacang-kacangan
           Contoh lain, keanekaragaman pada keluarga kucing. Di kebun binatang, Anda dapat mengamati hewan harimau, singa, citah dan kucing.

Gambar 2. Keanek ragaman jenis pada hewan (a) harimau, (b) singan,
 (c) kucing dan (d) citah.
Walaupun hewan-hewan tersebut termasuk dalam satu familia/suku Felidae, tetapi diantara mereka terdapat perbedaan-perbedaan sifat yang mencolok. Misalnya, perbedaan warna bulu, tipe lorengnya, ukuran tubuh, tingkah laku, serta lingkungan hidupnya.
Cobalah Anda perhatikan perbedaan sifat dari hewan berikut ini :
No.
Ciri-ciri
Kucing
Harimau
Singa
Citah
1.
2.

3.
Ukuran tubuh
Warna bulu

Tempat hidup
Kecil
Hitam, putih, kuning
Hutan, rumah
Besar
Hitam, putih, kuning
Hutan
Besar
Hitam, putih, kuning
Hutan
Sedang
Hitam/ putih
Pohon

Demikian pula pada kelompok tumbuhan yang tumbuh di dataran tinggi dan dataran rendah akan memperlihatkan perbedaan-perbedaan sifat pada tinggi batang, daun dan bunga. Contohnya kelapa, aren, pinang, dan lontar, seperti tampak pada tabel pengamatan berikut ini.

No
Ciri-ciri
Kelapa
Aren
Pinang
Lontar
1.
Tinggi Batang
>30m
25m
25
15-30m
2.
Daun
-Panjang tangkai daun 75-150cm
-Helaian daun 5m, ujungruncing dan keras
-Panjang tangkai daun 150cm
Tangkai daun pendek
-Panjang tangkai daun 100cm
-Helaian daun bulat, tepi daun bercangap menjari
3.
Bunga
Tongkol
Tongkol
Tongkol
Bulir



Gambar 2. Keanekaragaman pada suku Palmae
   Dari contoh-contoh di atas, Anda dapat mengetahui ada perbedaan atau variasi sifat pada kucing, harimau, singa dan citah yang termasuk dalam familia/suku Felidae. Variasi pada suku Felidae ini menunjukkan keanekaragaman pada tingkat jenis. Hal yang sama terdapat juga pada tanaman kelapa, aren, pinang, dan lontar yang termasuk suku Palmae atau Arecaceae.

3. Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem
Di lingkungan manapun Anda di muka bumi ini, maka Anda akan menemukan makhluk hidup lain selain Anda. Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya.
Lingkungan hidup meliputi komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu (uni seluler) sampai makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang dapat dilihat langsung oleh kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya, batuan, air, tanah, dan kelembaban. Ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor fisik, ada faktor kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman, dan kandungan mineral.
Baik komponen biotik maupun komponen abiotik sangat beragam atau bervariasi. Oleh karena itu, ekosistem yang merupakan interaksi antara komponen biotik dengan komponen abiotik pun bervariasi pula.
Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan lingkungnnya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik ini menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Apa yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman tingkat ekosistem? Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk ekosistem.

Gambar 2. Keanekaragaman ekosistem (a) padang rumput (b) padang tundra
(c) gurun pasir
         Perbedaan letak geografis menyebabkan perbedaan iklim. Perbedaan iklim menyebabkan terjadinya perbedaan temperature, curah hujan, intensitas cahaya matahari, dan lamanya penyinaran. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap jenis-jenis flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) yang menempati suatu daerah.
         Di daerah dingin terdapat bioma Tundra. Di tempat ini tidak ada pohon, yang tumbuh hanya jenis lumut. Hewan yang dapat hidup, antara lain rusa kutub dan beruang kutub. Di daerah beriklim sedang terdpat bioma Taiga. Jenis tumbuhan yang paling sesuai untuk daerah ini adalah tumbuhan conifer, dan fauna/hewannya antara lain anjing hutan, dan rusa kutub.
         Pada iklim tropis terdapat hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) yang sangat kaya dan beraneka ragam. Keanekaragaman jenis-jenis flora dan fauna yang menempati suatu daerah akan membentuk ekosistem yang berbeda. Maka terbentuklah keanekaragaman tingkat ekosistem.
         Totalitas variasi gen, jenis dan ekosistem menunjukkan terdapat pelbagai variasi bentuk, penampakan, frekwensi, ukuran dan sifat lainnya pada tingkat yang berbeda-beda merupakan keanekaragaman hayati.
         Keanekaragaman hayati berkembang dari keanekaragaman tingkat gen, keanekaragaman tingkat jenis dan keanekaragaman tingkat ekosistem. Keanekaragaman hayati perlu dilestarikan karena didalamnya terdapat sejumlah spesies asli sebagai bahan mentah perakitan varietas-varietas unggul. Kelestarian keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem akan terganggu bila ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan.
         Gangguan-gangguan terhadap komponen-komponen ekosistem tersebut dapat menimbulkan perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-lahan atau secara cepat pula. Contoh-contoh gangguan ekosistem , antara lain penebangan pohon di hutan-hutan secara liar dan perburuan hewan secara liar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Gangguan tersebut secara perlahan-lahan dapat merubah ekosistem sekaligus mempengaruhi keanekaragaman tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor atau letusan gunung berapi, bahkan dapat memusnahkan ekosistem. Tentu juga akan memusnahkan keanekaragaman tingkat ekosistem. Demikian halnya dengan bencana tsunami.